Senin, 22 Agustus 2011

RAPBN 2012 dan KEPENTINGAN DAERAH

Oleh : Riza Falepi
Anggota DPD
sumber : Padang Ekspres • Senin, 22/08/2011 

Setiap 16 Agustus Presiden menyampaikan nota keuangan terkait Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada Sidang Umum DPR dan DPD.

Kemudian RAPBN ini dibahas DPR sampai pengambilan keputusan dalam bentuk penetapan APBN tahun berikutnya. DPD ikut membahas sampai pembahasan tingkat satu dengan pertimbangan terhadap kepentingan daerah, terutama daerah masing-masing.

Namun pada pembahasan tingkat dua atau lebih dikenal pada proses pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan karena memang secara konstitusi tidak punya hak memutuskan.

Pada tahun ini Presiden sudah menyampaikan RAPBN berikut nota keuangannya beberapa hari yang lalu. Dalam RAPBN 2012 ini direncanakan anggaran mencapai Rp 1.418 trilyun rupiah, dengan dana transfer ke daerah sebesar 464,4 trilyun rupiah. Sebenarnya angka sebesar ini untuk dana transfer ke daerah cukup besar.

Namun, sejak tahun 2005 terjadi pemekaran yang menghasilkan daerah baru berupa 7 provinsi dan 164 kabupaten dan 34 kota. Akibatnya,  kue anggaran harus berbagi lebih banyak dengan daerah pemekaran tersebut yang berdampak kepada seolah-olah penambahan anggaran transfer ke daerah hanya sedikit sekedar penutup laju inflasi. Diperkirakan hal ini akan tetap terjadi sampai proses pemekaran berhenti.

Dari sudut pandang daerah, hal ini menjadi persoalan stagnasi pertumbuhan manakala kepala daerah yang bersangkutan hanya mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan dari dana transfer pusat ke daerah saja. Kecuali kepala daerahnya kreatif untuk membangun iklim investasi yang baik serta memahami seluk-beluk kekuatan potensi daerahnya dengan baik sebagai faktor endowment yang dapat ditingkatkan menjadi pusat pertumbuhan baru.

Dengan demikian, ibarat pemerintah pusat sebagai ‘orang tua’ yang memberikan belanja kepada ‘anaknya’ di daerah: “Saya berikan uang belanja sekian, pandai-pandailah menggunakannya”. Dengan kata lain, hanya kepala daerah yang mampu lah yang bisa mengelola anggaran terbatas tersebut menjadi optimal untuk pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Anggaran terbatas yang menjadi alasan klasik kepala daerah seharusnya tidak lagi menjadi isu besar karena semua daerah rata-rata mengalaminya.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di 2012 untuk anggaran belanja kementerian, lembaga, serta non kementrian,  diarahkan untuk mencapai sembilan sasaran utama. Kesembilan program ini sangat berdampak pada daerah yaitu: (1) meningkatkan belanja infrastruktur untuk mengatasi sumbatan, keterkaitan dan keterhubungan domestik, ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kesejahteraan masyarakat (2) menuntaskan reformasi birokrasi, (3) meningkatkan program perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan penanggulangan bencana, (4) memperkuat program-program prorakyat melalui langkah-langkah keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan dan peningkatan lapangan kerja, (5) meningkatkan kualitas belanja negara melalui pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja, (6) mempertahankan tingkat kesejahteraan aparatur negara, (7) meningkatkan kapasitas mitigasi, (8) memenuhi anggaran pendidikan sesuai amanah konstitusi, dan (9) memberikan dukungan kepada pelaksanaan kegiatan kerjasama pemerintah swasta atau public private partnership.

Di luar RKP, penulis melihat program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) juga merupakan program utama pemerintah yang berpengaruh pada percepatan pertumbuhan daerah serta pemerataannya. Dalam rancang bangun MP3EI digunakan tiga strategi besar, yaitu:
(1) mengembangkan enam koridor ekonomi Indonesia yang meliputi koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku, (2) memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara local dan terhubung secara internasional, dan (3) mempercepat kemampuan SDM dan Iptek untuk mendukung pengembangan program utama, dengan meningkatkan nilai tambah di setiap koridor ekonomi. Pendanaan MP3EI ini dilakukan melalui keterpaduan pendanaan dari APBN, APBD, BUMN, serta pihak swasta dan masyarakat.

Pada RAPBN ini, asumsi pertumbuhan sekitar 6,7%, laju inflasi 5,3%, suku bunga SPN 6,5%, nilai tukar rupiah 8800 per USD, harga minyak USD 90 per barrel, dan lifting minyak 950 ribu barrel per hari. Dengan asumsi pertumbuhan seperti ini, rasanya sulit jika mengacu pada tujuan MP3EI dimana pada tahun 2025 PDB Indonesia akan mencapai 4,5 trilyun USD dengan pendapatan per kapita sebesar 15.000 USD. Bayangkan, hari ini saja PDB kita baru sekitar 0,9 trilyun USD dengan pendapatan per kapita sekitar 3.000 USD. Diperkirakan, Indonesia harus memiliki angka pertumbuhan minimal sebesar 7,5 % untuk mencapai target 2025 tersebut.

Jika membaca postur RAPBN 2012, sebenarnya pemerintah sudah mengarah pada penyelesaian isu-isu penting persoalan ekonomi Indonesia hari ini. Pada prinsipnya, persoalan utama ekonomi Indonesia saat ini adalah ketidakefisienan, ketidakefektifan, produktifitas yang rendah, dan lebih mengandalkan faktor endowment berupa komoditas yang sedang bagus-bagusnya di pasar internasional. Ketiga isu ini jika disederhanakan akan bermuara pada beberapa persoalan.

Pertama, sistem logistik yang mahal, dan ini ditunjukkan oleh prioritas RKP pertama yakni mengatasi sumbatan, terutama untuk keterkaitan dan keterhubungan domestik. Persoalan ini nyata-nyata sudah membebani kita, dengan contoh kasus jeruk Brastagi dibandingkan dengan jeruk Cina. Ongkos logistik jeruk Cina dari Beijing ke Jakarta jauh lebih murah dibandingkan dari ongkos pengiriman jeruk dari Brastagi di Sumatera Utara ke Jakarta. Belum lagi kasus overload bongkar muat yang sangat lama di Teluk Bayur (mencapai 23 hari) jika dibandingkan dengan di Singapura yang hanya satu hari, atau rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang belum selesai sampai sekarang sehingga menyebabkan antrian truk di Pelabuhan Merak. Apalagi kalau berbicara mengenai pembangunan di Indonesia Timur.

Kedua, infrastruktur yang tidak memadai, terutama listrik dan jalan. Amat banyak investasi yang masuk ke Indonesia, dan hampir setengahnya batal gara-gara tidak tersedianya listrik. Penulis pernah mengajak investor mendirikan pabrik coklat di Sumatera Barat, namun investornya balik kanan begitu mengetahui tidak adanya listrik yang siap dengan persyaratan stabilitas dan tidak mati hidup. Fenomena ini merata di seluruh Indonesia. Ketiga, persoalan reformasi birokrasi. Birokrat kita hari ini belum optimal dari sisi kinerja, apalagi dalam masalah pengelolaan yang tidak mengacu pada prinsip-prinsip produktifitas, efisiensi, dan efektifitas. Penulis menganggap ketiga persoalan ini mesti dibenahi dengan sungguh-sungguh jika menginginkan kita maju. Ini adalah persyaratan minimum, dan penulis menganggap pemerintah SBY dapat dikatakan berprestasi jika mampu mengatasi persoalan ini.

Setelah itu baru kita melangkah kepada peningkatan daya saing bangsa secara keseluruhan. Kita harus menemukan cara kita sendiri bagaimana mentransformasi faktor endowment kita berupa ketersediaan bahan baku yang melimpah menjadi sesuatu yang bernilai tambah tinggi. Pada jangka menengah, pembangunan industri pengolahan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah. Tinggal menetapkan daerah mana saja yang menjadi basis produksinya dan sekaligus disinkronisasi dengan konsep MP3EI. Disinilah lompatan pertumbuhan ekonomi akan terjadi, yang penulis perkirakan dapat memberikan dampak pertumbuhan sebesar 8-10 persen per tahun.

Titik kritis dari persoalan ini adalah apakah konsep MP3EI dengan menekankan prinsip kerja keras dan meninggalkan pola pikir business as usual. Dengan kata lain, akan muncul ekonomi bernilai tambah tinggi, yang dimulai dengan industri pengolahan yang kemudian berlanjut pada industri berbasis iptek dengan nilai tambah tinggi atau innovation driven economy. Menurut penulis, apabila era pemerintahan SBY ini mampu membereskan bottle neck di atas dan kemudian meletakkan dasar yang akan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya untuk siap memulai ekonomi dengan pertumbuhan tinggi (8-10 persen) maka harapan pada visi 2025 penulis yakini akan bisa lebih cepat. Dan inilah mimpi kita menjadikan Indonesia bersama Cina dan India sebagai motor penggerak ekonomi dunia, di tengah mulai merosotnya peran Eropa dan Amerika Serikat.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana daerah merespon dan mengambil keuntungan terhadap realita RAPBN hari ini. Penulis tetap berkeyakinan jika daerah mampu meresponnya dengan tepat maka ia berpotensi tumbuh melebihi rata-rata pertumbuhan nasional. Dan penulis menganggap itulah kepala daerah yang berhasil.

Bagi kita di Sumatera Barat, lebih khusus lagi, mulai berpikir strategis dengan tetap melihat seluruh peluang RAPBN tersebut dan koheren dengan rencana pemerintah tersebut. Walaupun seluruh rencana pemerintah ini masih penulis ragukan konsistensinya (sesuatu yang sangat mahal bagi kita), lebih baik kita berpikir optimis untuk mengambil keuntungan bagi daerah kita. Lebih baik kita berjuang untuk menyelesaikan PR kita untuk menyelesaikan reformasi birokrasi, debottlenecking terhadap permasalahan Teluk Bayur, Kelok Sembilan, serta pendirian beberapa lapangan terbang perintis, seperti Piobang di 50 Kota, Pasaman Barat, serta Dharmasraya. Kemudian melangkah lebih jauh membangun interkoneksi yang berorientasi pada Selat Malaka, dengan target agar kita mendapat manfaat maksimal terhadap program MP3EI serta memanfaatkan Teluk Bayur sebagai pintu gerbang ke arah barat (Afrika, Timur Tengah, dan Eropa).

Dalam konteks provinsi Sumatera Barat inilah kita harus mampu menciptakan konsistensi dan desain pembangunan yang inheren dengan RAPBN kita. Konsistensi diperlukan sehingga walaupun kita bukan bagian dari koridor MP3EI namun kita memperoleh manfaat lebih untuk itu. Setidaknya, kita harus bisa menemukan cara kita sendiri (caro awak) agar mampu menyelesaikan setidaknya dua hal. Pertama, Sumatera Barat harusnya menjadikan basis pertumbuhan lebih terarah dan konsisten berdasarkan konsep ekonomi bernilai tambah sedang dan tinggi. Misalnya, apabila kita yakin mengatakan Sumbar sebagai penghasil utama cokelat, maka sudah selayaknya pemerintah provinsi bersama kota dan kabupaten membuat roadmap untuk itu sampai pada industri yang bernilai tambah tinggi. Bukan berarti yang lain tidak diperhatikan, namun ada prioritas dan konsistensi. Kedua, dengan caro awak harus bisa menyelesaikan kendala-kendala pertumbuhan yang berakar pada dua persoalan utama yaitu persoalan tanah dan persoalan SDM (brain drain).

Akhirnya, hal ini berpulang kembali kepada kemampuan kepala daerah untuk memulai sebuah mimpi pertumbuhan tinggi dengan keterbatasan RAPBN yang ada. Penulis melihat kemampuan kepemimpinan kepala daerah di satu sisi serta kreatifitas dan inovasi dalam menyikapi RAPBN dan arah kebijakan pembangunan semisal MP3EI akan mampu ‘membonceng’ jika tidak melebihi pertumbuhan tinggi yang direncanakan oleh pemerintah pusat menuju target 2025. Kesadaran kolektif urang awak di kampung melihat realita ini tentu dituntut. Apalagi kalau ini didukung oleh masyarakat minang perantauan. Inilah tantangan utama kita ke depan sebagai urang awak di kampung. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar